Senin, 11 Februari 2013

AKU (cause girl you're amazyng just the wau you are)


Aku nggak tau kenapa aku bisa kayak gini. Aku minder aku ngerasa nggak banget

Aku sedih aku sedih aku sedih. Ya Tuhan aku bingung sama keadaanku

Berjalanlah seperti adanya. Aku pengen jadi diri sendiri yang nggak irian

Aku pengen jadi AKU

Ya Aku. Aku yang gini adanya

yang biasa aja. yang nggak cantik. yang buruk. yang jelek. yang item

yang penuh cercaan. aku yang sangat tidak percaya diri. aku yang down aku yang jelek

aku yang hina. aku yang nggak banget. aku yang tidak membuat orang tertarik

aku yang pendiam. aku yang tidak berlebihan

Bagaimana Mendapat A Tanpa Menjadi Seorang Penjilat?


Wah, judul di atas terdengar berani sekali ya? Bukan bermaksud untuk menyindir tapi hanyalah sebuah motif spekulasi seseorang yang sangat sulit mendapatkan nilai A di beberapa mata kuliah yang sebenarnya telah mampu dijalankan. Setidaknya dengan hal ini penulis menyindir dirinya sendiri.
Ya, perkuliahan itu tidak seribet SMA? Lo kok bisa? Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas yang penuh dengan memori, dunia remaja bertumbuh menjadi dewasa dengan bumbu cinta monyet yang masih terngiang hingga sekarang ini, masalah pelajaran akan menjadi kompleks untuk diri sendiri. Ya, setidaknya anak-anak SMA lebih individual dalam mengerjakan tugas sekolahnya ataupun pada saat ulangan, guru pun akan lebih ketat muridnya tanpa pandang buluh. Lebih jauh menengok masa-masa SMP dan SD. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa semakin meningkatnya tingkat pendidikan tingkat behavioral siswa terhadap siswa lain semakin meningkat juga. Yang tentu saja keadaan tersebut dapat menyentuh beberapa hal negatif , seperti tingkat kerja sama dalam hal menyontek, mengerjakan tugas individual sama juga akan meningkat. Sekarang jikakita flashback ke masa di mana kita berada di sekolah dasar, dengan wajah unyu-unyu kita teman sebangku kita pun tidak boleh melihat hasil pekerjaan rumah kita.
Dalam dunia perkuliahan, nilai dihargai dengan harga mati yaitu A untuk nilai 4, B untuk nilai 3, C untuk nilai 2, D untuk nilai 1, dan E untuk nilai 0. Hal ini tentu saja menyamaratakan kualitas dan kuantitas penghargaan yang didapat mahasiswa. Untuk mahasiswa berkemampuan 98 akan dihargai A demikian juga untuk mahasiswa berkemampuan 80. Bagaimana hal ini dapat dikatakan sebuah keadilan? Mahasiswa dengan tingkat kerja keras tinggi pun jarang terlihat oleh dosen pemberi nilai. Menurut saya, beberapa dosen harus melakukan cek and re cek dalam menilai seseorang mahasiswa, terutama dalam kerja keras dan keseriusan membuat tugas sebelum menilai hasil dari tugas tersebut. Malu ketika disekitaran kampus tersebar berbagai slogan dan pendoman anti plagiasi, tetapi hasil plagiasi masih saja mendapat nilai tinggi. Namun, di sisi lain terlihat hasil keringat sendiri sesuai kemampuan yang masih dihargai rendah. Sebagai seorang civitas akademika, berbagai pihak di kampus harus menghargai kerja keras keringat sendiri. Bukankah itu yang digembar-gemborkan oleh pjadi seara petinggi kampus?
Berbagai aspek dapat dijadikan cara untuk mendapatakan  penghargaan tertinggi untuk sebuah tugas di kampus. Nilai akhir semester pun dapat menjadi sebuah pengakalan belaka. Keabsurdan adanya sebuah nilai pun dapat terjadi karena tingkat kedekatan denagn dosennya. Tidak dapat dipungkiri lagi, dosen bukanlah seorang guru kelas yang mengenal seluruh anak didiknya di kelas tersebut. Dosen memiliki banyak sekali mahasiswa yang mengikutinya. Maka dari itu, mahasiswa dituntut aktif dekat dengan dosen, sehingga dosen pun dapat mengenalnya secara intensive. Hal ini sangat menguntungkan mahasiswa karena tidak semuanya mendapat kesempatan seperti ini. Malanglah mahasiswa dengan cacatan jelek bagi si dosen. Atau dengan menyesal, malanglah mahasiwa yang tidak proaktif, karena ia hanya menjadi sebuah catatan nama dan nim bagi dosen.
Hari ini, penghargaan nilai bukanlah hal yang sulit untuk diraih. Berbagai cara dan pandangan dapat dengan mudah dilakukan untuk penghargaan nilai tersebut, entah bagaimana tugas yang telah diselesaikan. Nilai menjadi tidak benilai lagi secara real dan ketika itu terjadi tidak hanya hard skill yang dapat diandalkan untuk menghasilkan output yang baik. Nmaun, lebih jelas lagi adalah soft skill dan keteguhan kepercayaan berupa moral yang kuat untuk menjadi sebuah batu karang tangguh dalam ekspolarisasi dunia.